Fatmawati dan FTN Diduga Dikriminalisasi, Koalisi Rakyat Desak Kapolda dan Kajati Sulsel Bertindak Tegas
Makassar, 20 Oktober 2025 —
Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Menuntut Keadilan (KRMK) menggelar aksi damai di Makassar, Senin (20/10), menyoroti dugaan rekayasa hukum dan kriminalisasi terhadap dua perempuan di Sulawesi Selatan.
Koalisi menilai penanganan hukum terhadap Fatmawati dan FTN menunjukkan indikasi penyalahgunaan kewenangan oleh oknum aparat penegak hukum, baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan.
Dalam pernyataannya, KRMK menyebut kedua kasus tersebut menggambarkan lemahnya integritas dan akuntabilitas aparat di lapangan, serta berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
“Kami meminta agar pimpinan Polda dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan meninjau ulang proses hukum yang dilakukan terhadap kedua perempuan ini, karena kami menduga telah terjadi kriminalisasi,” ujar Delandi, Koordinator Lapangan Koalisi Rakyat Menuntut Keadilan, dalam keterangannya di Makassar.
Kasus pertama yang disoroti adalah perkara yang menjerat Fatmawati, yang dilaporkan oleh Hj. Subaedah ke Polda Sulsel atas dugaan penipuan dan penggelapan sebagaimana Pasal 378 dan 372 KUHP dengan Laporan Polisi Nomor: LP/B/535/VI/2025/SPKT POLDA SULSEL tertanggal 11 Juni 2025.
Menurut Koalisi, perkara ini berawal dari utang-piutang sebesar Rp150 juta dengan bunga Rp50 juta, yang telah disepakati dan dibuatkan akta pengakuan utang di hadapan notaris. Namun, meski bersifat perdata, kasus itu justru ditangani sebagai tindak pidana oleh penyidik dan jaksa.
KRMK menilai langkah tersebut bertentangan dengan Pasal 1754 KUHPerdata dan Pasal 19 ayat (2) UU HAM, yang melarang pemidanaan seseorang karena ketidakmampuan memenuhi kewajiban dalam perjanjian utang-piutang.
“Kasus perdata tidak boleh dipaksakan menjadi pidana. Ini bentuk pelanggaran prinsip dasar hukum dan keadilan,” ujar Delandi.
Selain itu, Koalisi juga menyoroti kasus FTN, perempuan asal Makassar yang kini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Jeneponto atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi oleh penyidik Polres Jeneponto.
Menurut KRMK, penetapan tersangka terhadap FTN tidak disertai dengan penjelasan yang memadai dan dianggap tidak proporsional. Pria yang berada dalam konteks peristiwa yang sama disebut tidak mengalami proses hukum serupa, sehingga dinilai mengandung unsur diskriminasi gender.
FTN juga telah melaporkan Briptu JYC, anggota Polres Jeneponto, atas dugaan penyebaran foto pribadi dan tindak kekerasan seksual.
“Kami melihat adanya perlakuan hukum yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, serta potensi penyalahgunaan kewenangan aparat,” kata Delandi.
Dalam pernyataan sikap resminya, Koalisi Rakyat Menuntut Keadilan menyampaikan beberapa poin tuntutan, di antaranya:
2. Mendesak Polda dan Kejati Sulsel agar penanganan kasus dilakukan secara transparan, proporsional, dan berkeadilan.
3. Meminta evaluasi terhadap bukti, prosedur, dan aparat yang menangani kedua kasus tersebut.
4. Mendorong lembaga pengawas eksternal seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman, Kompolnas, dan Komisi Kejaksaan untuk melakukan pemantauan dan audit independen.
5. Mendesak Kapolda Sulsel dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel untuk mencopot dan memeriksa pejabat terkait, termasuk Kasubdit Tahbang Polda Sulsel, Kapolres Jeneponto, serta jaksa Hj. Rahmawati yang menangani perkara Fatmawati.
Koalisi menegaskan bahwa penegakan hukum yang adil merupakan amanat langsung dari Presiden Prabowo Subianto, yang dalam berbagai kesempatan menekankan pentingnya profesionalisme aparat dalam melindungi hak warga negara.
“Tegaknya hukum bukan hanya soal prosedur, tapi juga soal hati nurani. Aparat yang menyalahgunakan wewenang harus dievaluasi agar kepercayaan publik dapat pulih,” tutup Delandi. (Restu)
Komentar
Posting Komentar